Senin, 24 Januari 2011

sejarah satra

Karya Sastra Bermunculan, Tinggal Masalah Kualitas!

Posted by PuJa on April 30, 2009
Sastra Indonesia 2003
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Dunia sastra di masa kini sangat ramai dari berbagai wacana. Tanpa pemusatan sebuah tema besar—cenderung bias dan menyebar—karya sastra pada tahun ini cenderung ditandai kehadiran berbagai bentuk apresiasi sastra, baik berupa teks, pembacaan di komunal, atau apresiasi yang mengarah pada estetika resepsi.
Kecenderungan lain adalah tumbuh suburnya penerbitan—karya sastra orisinal ataupun terjemahan serta majalah sastra—dan komunitas-komunitas sastra. Semua ini telah memberikan sumbangsih, baik lewat antologi karya sastra maupun diskusi pemikiran. Tak cuma generasi baru yang bergiat mendirikan komunitas dan menerbitkan majalah, seperti On/Off, Blocknote, dan Anarkhi, nama-nama lama pun tak kalah dalam berkegiatan serupa. J.J. Kusni tampil dengan majalah budaya Aksara, Martin Aleida dengan komunitas Meja Budaya.
Fenomena positif semacam ini tentu saja ikut merangsang semangat para pengarang untuk menyosialisasikan karyanya. Beberapa momen penerbitan media maupun festival, menguatkan nama-nama termasuk Raudal Tanjung Banua, Indra Tjahyadi, Amien Wangsitalaja, Heru Mugiarso, Rukmi Wisnu Wardani dan banyak lagi. Walau tentu saja, tanggapan dan apresiasi publik juga kualitas teks tetap menjadi hal yang penting dibicarakan selanjutnya.
Ramadhan KH menanggapi banyaknya naskah sastra—karya penulis Indonesia atau terjemahan—sebagai hal yang menggembirakan. Begitupun dengan munculnya komunitas dari berbagai daerah, termasuk dari Bandung, Riau dan Padang. Hal itu bisa jadi pendorong buat iklim kesusasteraan, selain dari kualitas teksnya.
Hal lain yang menarik perhatian adalah munculnya tinjauan kritis terhadap beberapa isu yang sempat terangkat di tahun sebelumnya, termasuk keberadaan perempuan sastrawan yang kuat dengan idiom-idiom dan ikon seks di dalam karyanya. Fenomena semacam itu rasanya sah-sah saja meski tetap mengundang interpretasi macam-macam. Seks diangkat di sastra, apakah sebuah wacana kebebasan, kesetaraan gender, hak feminisme, atau justru seperti pendapat Wisran Hadi—senada juga pada Hamsad Rangkuti—bahwa bentuk teks semacam itu sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi.
Beberapa lontaran tak hanya muncul dari para komunitas seniman, para apresian, atau pun dari seniman perempuan. Kritik itu bahkan muncul dari para sastrawannya sendiri. Setidaknya, hal itu akan membuka cakrawala sastra bukan pada figur dan personal, melainkan lebih pada teks maupun wacana. Beberapa pengarang antara lain Helvy Tiana Rosa dan Medy Lukito adalah sedikit dari banyak pengarang yang berusaha mengevaluasi lagi, pengarang dan teksnya yang kerap melontarkan tentang tema seks dan perempuan. Agak berbeda, Ramadhan KH melihat fenomena semacam itu sebagai hal yang tak menarik buat dibicarakan. Yang terpenting adalah menggali kedalaman dan kualitas teks karya sastra mereka. Secara umum, selain karya penyair perempuan Dorothea Rosa Herliany, Ramadhan juga menyebutkan karya Radhar Panca Dahana yang kualitas teksnya kuat.
Ragam ”Peristiwa Sastra”
Kedekatan karya sastra dengan komunitasnya juga jadi fenomena yang layak dicermati. Tak hanya Wowok Hesti Prabowo dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di masa lampau dengan buruhnya, tapi juga CWI dibidani Hudan Hidayat yang memunculkan karya dari para karyawan di sebuah institusi, On/Off yang masih melakukan penerbitan karya baik berupa majalah atau buku dari para pengarang ”bernama baru” tanpa memandang latar belakang, atau komunitas dunia maya yang menerbitkan buku dari para pengarang berbagai tempat di Indonesia bahkan dunia.
Dunia prosa juga dimeriahkan dengan pertemuan para cerpenis di Lampung yang menghimpun para penulis cerpen dari berbagai tempat untuk mengkritisi karakter dari teks dunia cerpen saat ini. Pada puisi, sempat santer juga gaung puisi internasional dibidani oleh Komunitas Utan Kayu, yang membuat event di Bali, Solo, Yogya dan Jakarta. Para penyair dari mancanegara berkumpul dan berefleksi atas karya mereka, di tengah tema religiositas dan ”puisi bunyi”, sebuah event yang juga mendapatkan bermacam reaksi dari publik baik yang positif maupun yang mengkritisi.
Ajang semacam festival atau seleksi baik lewat karya maupun buku diadakan. Termasuk tradisi seleksi buku sastra oleh Khatulistiwa Literary Award dikoordinatori QB World Books, Ahmad Bakrie 2003 oleh Freedom Institutes (FINS), antologi puisi oleh Komunitas Sastra Indonesia, juga lomba karya sastra termasuk yang dilakukan oleh CWI.
Hal lain adalah munculnya re-inventarisasi dan reorientasi sastra pada beberapa kota, bahkan memunculkan tak hanya karya berupa kumpulan cerpen, puisi, atau esai, namun juga ”semacam ensiklopedia” yang pernah dilakukan oleh Korrie Layun Rampan terhadap suatu fase sejarah sastra dan sastrawan Indonesia. Temu para penulis sastra – entah penyair, esais maupun prosais — Surabaya dan Jakarta – bahkan tema yang mengedepan dari beberapa esai di Yogyakarta — bisa dipandang sebagai usaha untuk pencarian terhadap identitas lokal dengan isu yang mengarah pada tinjauan kembali masyarakat urban, proses kreatif penulis dan interaksinya terhadap sebuah kota. Walau sebenarnya, masih jadi pertanyaan, tentang pentingnya ”verbalitas sebuah kota” di dalam latar sebuah teks sastra ”kaum urban”.
Hal lain, menyitir pendapat Sutardji Calzoum Bachri, bisa jadi menarik untuk disimak dan direfleksi, adalah iklim pembacaan karya sastra belakangan ini. Terhadap penyair khususnya, Sutardji sempat melontarkan tentang karakter pembacaan yang ditanggapinya masih kurang kuat ketimbang penyair-penyair sebelumnya – tanpa menafikan kualitas teks – selain beberapa nama kuat yang muncul pada masa sebelumnya. Namun, persoalan ini, menurutnya, tak hanya disebabkan oleh si pembaca karya semata, tapi dipengaruhi oleh faktor lain seperti keberadaan komunitas bahkan institusi seni yang masih kurang memberikan apresiasi pembacaan karya pada sastrawan belakangan ini.
Pustaka sastra pun mulai diisi oleh buku-buku terbitan tahun ini oleh pengarang antara lain Eka Kurniawan, Nukila Amal, Radhar Panca Dahana, Herlinatiens dan banyak lagi. Termasuk juga karya dari pengarang yang pernah mengalami ”tekanan politik di masa 1960-an”, mulai dari sastrawan calon pemenang Novel Pramoedya Ananta Toer, Martin Aleida ataupun Sobron Aidit.
Teks dan Konvensionalitas
Martin Aleida menanggapi bahwa fenomena sastra belakangan justru dari faktor struktur intrinsik (tema, perwatakan, latar, alur) dan ekstrinsik (tema sosial, politik dan budaya) belakangan, yang kerap ditandai dengan kemunculan karya-karya dengan ”beban struktur yang manipulatif”.
Istilah manipulatif ditujukannya pada teks-teks yang dalam bentuknya merombak bahkan menafikan strukturalitas sastra. Gejala ini diikuti oleh keberadaan ”media budaya” tertentu yang memaksakan karakter. Baginya, itu adalah sebuah pemaksaan ideologi karena membuat estetika tertentu, karena eksperimen, lalu merombak tatanan konvensional sebuah teks sastra.
Dia menyorot terhadap karya belakangan yang terlihat sekali mengekplorasi bahasa namun sama sekali menafikan struktur teks sastra. Tanpa plot, tanpa perwatakan, kecuali ekplorasi bahasa indah, harus dipertimbangkan apakah itu benar sebuah karya sastra berupa prosa atau novel, misalnya. Redefinisi sebuah teks tampaknya juga perlu dilakukan.
Fenomena ini juga dilihatnya pada keberadaan pengamat sastra. Dia mengkritik para pengamat yang ”tidak membumi” pada analisis dan kritik teks. Para pengamat yang kerap menyertakan referensinya dari filsafat dan semua teori asing, sehingga terkesan megah, namun justru menjauh dari essensi karya si penulis – padahal bisa saja si penulis mengangkat persoalan ekstrinsiknya berupa tema tentang Indonesia atau tema-tema lokal. ”Perbandingan memang boleh, tapi berapa besar perbandingan itu. Yang ada malahan kritik yang bukan pada teks, melainkan hanya tertuju pada apa yang dia baca,” ujarnya.
Apa yang dikatakan Martin, bisa jadi karena kondisi para penulis puisi dan cerpen Indonesia pun sedang mengalami bentuk pencarian. Terkadang bentuk bisa berbeda kadar keliarannya, wacana teknis dari karya sastra luar yang eksperimentatif bisa dibaca secara paralel, bisa juga secara ekstrem. Kenyataan munculnya karya yang ”aneh” dari sisi konvensional seperti tanpa alur, atau tanpa karakter, bahkan konflik yang sangat lemah, adalah suatu fenomena sastra yang bisa diserahkan pada estetika resepsi dari publik. Hanya masyarakat yang tahu bagaimana memaknainya, menikmatinya atau bahkan memperlakukannya. Teks akan hilang dan mati di dalam perjalanan sejarah ataukah terus bertahan sepanjang masa? Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar